Subscribe:

Footer Widget 1

Texts

Pages

Blogger Tricks

Recent Post

Slider(Do not Edit Here!)

Navigation (Do not Edit Here!)

Thursday, September 8, 2011

Beda Lebaran Namun Satu Kemenangan Menuju Fitrah

SETELAH satu bulan penuh umat Islam di berbagai penjuru dunia menjalankan ibadah puasa, kini saatnya hari kemenangan itu tiba.

Kegembiraan dan perasaan bahagia menyebar dan dirasakan oleh seluruh umat Islam yang menjalaninya. Namun, hari raya Idul Fitri 1432 H tahun ini begitu meninggalkan kesan mendalam bagi umat islam di Indonesia.

Terlepas dari Ramadhan sebagai bulan dimana dilimpahkannya rahmat, ampunan dan dijauhkannya kita dari api neraka, Ramadhan kali ini diwarnai dengan perbedaan penetapan 1 Syawal oleh pemerintah dan ormas Islam lainnya.

Kejadian ini bukanlah barang baru Indonesia, perbedaan awal Ramadhan dan Syawal menjadi ciri khas islam Indonesia dalam berdemokrasi kalau tidak dibilang perpecahan. Namun, Indahnya Idul Fitri ini tak akan berkurang kalau kita memaknai perbedaan itu sebagai kedewasaan umat dalam berijtihad. Nah, sebelum itu kita akan melihat kenapa perbedaan antara ormas Islam besar yakninya Muhammadiyah dan NU itu terjadi.

Dasar Hukum

Dasar hokum yang dipakai dalam penetapan syawal seperti : Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya'ban tiga puluh hari." (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

Perbedaan Penafsiran

Namun keduanya mempunyai penafsiran yang berbeda. NU berpendapat bahwa kata-kata melihat dalam hadis tersebut adalah melihat secara langsung. Namun Muhammadiyah berpendapat bahwa kata liru'yatihi (melihatnya), tidak melulu bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata ra'a, dapat diartikan berpikir.

Oleh karena itu, mereka menyatakan bah bahwa wa riwayat riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra'a, bisa diartikan dengan memikirkan, atau bisa diartikan bolehnya menetapkan awal bulan dengan hisab.

Menggunakan Penafsiran Rasulullah dan Sahabat

Memang Muhammadiyah berdalih bahwa kata-kata ra'a dapat diartikan berpikir yaitu dengan menggunakan hisab. Namun, apakah Rasulullah dan para sahabat menafsirkan seperti itu? Tentu tidak.

Mari kita simak wasiat terakhir Rasulullah, dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), Ibnu Majah (43 - 44), Ahmad, dll : Sabda Rasulullah SAW : 'Saya berpesan kepada kamu supaya sentiasa bertaqwa kepada Allah Azza wajalla serta mendengar dan taat sekalipun kepada seorang hamba yang memerintah kamu. Sesungguhnya orang-orang yang masih hidup di antara kamu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kamu berpegang kepada sunnahku dan dan sunnah Khalifah Ar-Rasyiddin Al-Mahdiyyin yang memperoleh petunjuk (dari Allah) dan gigitlah ia dengan gigi geraham kamu (berpegang teguh dengannya dan jangan dilepaskan sunnah-sunnah itu). Dan jauhilah kamu dari pekara-pekara yang diadakan, karena sesungguhnya tiap-tiap bid'ah itu menyesatkan.'

Jadi jika menafsirkan Al-Qur'an dan As-Sunnah seharusnya menggunakan penafsiran Rasulullah dan para Khulafaur Rasyiddin, bukan penafsiran organisasi atau penafsiran perorangan, semuanya akan mudah.

Selain itu pada hadits juga ada kalimat, "Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari". Lafadz ini dengan jelas menunjukkan bahwa ru ru'yat berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab. Sejak kapan ada awan yang dapat menghalangi pikiran?

Mempersatukan Hari dengan Mengikuti Pemerintah

Penjelasan diatas itu baru NU dan Muhammadiyah yang merupakan ormas terbesar di Indonesia. Belum lagi diikuti oleh Persis, Al-Irsyad, Hizbut Tahrir, dll. Setiap ormas memiliki pandangan masing-masing.

Masing-masing ormas seolah merasa punya hak otoritas menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan tanggal 1 Syawal. Setidaknya untuk konstituen mereka sendiri. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di berbagai negeri Islam lainnya. Di sana, urusan penetapan seperti itu 100% diserahkan pemerintah.

Dasar Hukum : "Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku." (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)

Fatwa-Fatwa Kewajiban Mengikuti Hari Raya Sesuai Pemerintah, adalah Fatwa MUI butir ke dua, menyatakan bahwa seluruh umat Islam Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Perbedaan sangatlah mungkin terjadi kalau seandainya pemerintah sebagai ulil amri (pemimpin) bagi ummat tak mengambil sikap dalam menentukan, awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah. Karna umat Islam di kalangan bawah yang awam akan saling tuding menuding tanpa pemahaman mereka antar umat islam yang berbeda dalam penetapan 1 Syawal ini.

Namun beda lebaran pada tahun ini, sejatinya umat islam yang telah berpuasa di Bulan Ramadhan dengan melawan hawa nasu, menahan rasa lapar dan haus juga memperbanyak ibadah telah mencapai kemenangan.

Bulan Ramadlan jika kita renungkan dengan jernih merupakan bulan pelatihan untuk kita agar dapat melihat yang suci dalam diri kita. Perputaran hidup yang selama sebelas bulan dijalani perlu dilatih-ulang agar manusia tetap dapat stabil menjaga yang suci dalam dirinya. Itulah sebabnya mengapa Bulan Ramadhan disebut sebagai Bulan Kesucian, karena memang target akhir dari bulan ini adalah supaya manusia dapat kembali suci. Sekotor apapun manusia, asal ia mau kembali ke yang suci, maka jalannya kembali itupun menjadi jalan yang suci.

Maka kemenangan yang didapat setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa yaitu lahirnya kembali manusia-manusia suci yang peka akan kesuciannya dan menyadari apa hakikat dirinya hidup di atas muka bumi ini. Sebagai manusia suci, tujuan hidup utama adalah untuk melakukan pengabdian kepada Allah SWT.

Bukti dari pengabdian tersebut tercermin dari tingkah lakunya sehari-hari. Ia tidak akan diam melihat orang-orang yang meminta tolong di sekitarnya. Ia akan dengan penuh suka cita menolong sesamanya jika dibutuhkan, dan menebar kasih sayang kepada siapapun di atas muka bumi ini. Ia berbuat baik kepada orang yang baik kepadanya maupun yang memusuhinya. Karena ia sadar bahwa hakikat hidup dirinya adalah pengabdian.

*) Koordinator Media Center Daerah Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus Sumatera Barat

1 comment: